Wiji Tukul dan Sulitnya Hidup Sebagai Seorang Pelarian Politik


Alhinduan.Com-Apa hubungan antara Wiji Thukul dan Pontianak? Barangkali banyak yang tidak tahu- termasuk saya sebelum menonton film ini, bahwa penyair sekaligus aktivis yang hingga kini dinyatakan hilang itu, pernah melarikan diri ke kota kelahiran saya, Pontianak. Bahkan hingga dua kali.



Film garapan sutradara Yosep Anggi Noen ini mengambil lokasi di Solo, Jawa Tengah  dan Pontianak, Kalbar. Mereka juga menggunakan beberapa talent  lokal dari Pontianak dan Jawa. Film berdurasi 1 jam 37 menit 59 detik ini sangat padat dan termasuk kategori film ‘berat’ atau film festival yang tidak bisa ditonton sambil lalu laiknya menonton film komedi atau horor kacangan.

Selain Istirahatlah Kata-Kata, film nasional yang juga mengambil setting lokasi di Kota Khatulistiwa adalah Aruna dan Lidahnya yang dibintangi Dian Satrowardoyo. Sepertinya, Pontianak dan panorama Sungai Kapuas yang eksotik sudah mulai dilirik untuk menjadi lokasi syuting film nasional.

Ulasan jalan cerita film
Film berjudul Istirahatlah Kata-Kata ini, berkisah tentang sosok penyair Wiji Thukul alias Paul yang melarikan diri ke Pontianak karena dikejar aparat dan intel untuk dihabisi. Film yang diproduksi pada 2016 ini mengambil setting waktu di periode akhir Orde Baru, yakni tahun 1996.

Film dibuka dengan adegan seorang intel polisi (diperankan oleh pemain teater dan aktor  film Ziarah, Rukman Rosadi) yang menginterogasi putri dan istri Wiji yang tinggal di Solo. Setting tahun 1996. Wiji juga merupakan aktivis Partai Rakyat Demokrasi (PRD) yang berdiri pada 22 Juli 1996 di Jakarta.

PRD dituduh menjadi dalang kerusuhan pada 27 Juli 1996 di Jakarta dan diduga ingin menggulingkan pemerintahan Soeharto kala itu. Itulah yang membuat Wiji Thukul diburu polisi dan tentara hingga akhirnya dia melarikan diri ke Pontianak yang berjarak 972 kilometer dari kota asalnya, Solo. Dia kabur ke Pontianak, sementara pengurus PRD, Boediman Soedjatmiko-yang sekarang aktif di PDI-Perjuangan, ditangkap polisi.

Pada masa-masa itu, Wiji sudah dikenal sebagai sosok yang sentral. Wiji bahkan sudah menjadi salah satu pengurus pusat Persatuan Rakyat Demokratik, organisasi cikal bakal PRD. Lantas, Wiji menjadi Ketua organisasi sayap PRD, yakni Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).

Setelah pulang sebentar ke Solo, Wiji Thukul sempat kembali lagi ke Pontianak pada Februari 1997, sebelum akhirnya bertolak ke Jakarta. Dua bulan sebelum Soeharto dilengserkan pada Mei 1998, Wiji Thukul diculik aparat dan keberadaannya tidak diketahui hingga kini. Kuat dugaan, dia telah lama dibunuh.

Sulitnya Hidup Sebagai Seorang Pelarian Politik sangat terlihat sepanjang film. Beberapa kali lampu kamarnya harus dimatikan dan Wiji hanya ditemani sebatang lilin selama masa pelarian di Pontianak untuk menghindari kecurigaan intel.

Di adegan menjelang akhir, terlihat bahwa untuk buang air besar pun harus dilakukan sembunyi-sembunyi di dalam rumah yang digelapkan. Jujur, adegan itu membuat saya sedikit jijik. Tapi justru karena itulah karakter di film ini menjadi sangat hidup dan tidak berjarak dengan realita.

Puisi dadakan yang diciptakan Wiji saat berbincang tengah malam bersama Martin dan Thomas di warung pinggiran Kapuas juga sangat menohok,

Kemerdekaan itu nasi
Dimakan jadi tai

Kecerdasan Yoseph Anggi Noer memilih pemain
Pemilihan aktor Gunawan Maryanto yang tidak setampan Reza Rahardian, tapi mirip dengan wajah aslli Wiji Thukul itu, menjadi poin tersendiri bagi keberanian dan kecerdasan Yosep Anggi Noen dalam memilih pemain.

Saya membandingkan dengan pemilihan aktor Reza Rahadian untuk berperan sebagai Habibie di film Habibie-Ainun (2012), Rudy Habibie (2016) dan Habibie-Ainun 3 (2019) yang sangat tidak mirip dengan sosok B.J. Habibie, sehingga membuat penonton kurang bisa ‘masuk’ ke dalam cerita film.

Hebatnya, Yoseph tidak ikut ‘latah’ memilih seorang aktor dan aktris hanya karena mereka sedang populer, dengan wajah rupawan, dan tengah digandrungi anak muda saat ini. Proses pemilihan karakter tokoh dilakukan dengan cermat dan matang, meski sang aktor tidak populer.

Barangkali di kota asalnya, nama Gunawan Maryanto cukup dikenal, sebagaimana para pemain asal Pontianak yang menjadi pemeran pembantu di film itu. Tapi belum dikenal secara nasional. Bisa dibilang,  hanya Marissa Anita yang memang sudah dikenal secara luas sebagai (mantan) presenter TV nasional.

Tapi, bukankah ketidakpopuleran itu yang justru membuat kita lebih serius menonton dan  fokus kepada jalan cerita, alih-alih hanya sekadar memeloti wajah tampan seorang aktor atau keseksian seorang aktris?

No comments

Powered by Blogger.