Kampung Beting dalam Lintasan Sejarah
Alhinduan.Com- Menjelajahi Kampung
di tengah Kota Pontianak, terutama Kampung
Beting, memang selalu menghadirkan sensasi tersendiri bagi saya.
Kampung Beting-dulu bernama Tanjung
Besiku-terletak di belakang Istana Kadariyah Pontianak, tak jauh dari Masjid
Jami Sultan Abdurrahman Alkadri. Kampung Beting berada di Jalan
Tanjungraya 1, Kelurahan Dalam Bugis,
Kecamatan Pontianak Timur.
Kampung Beting tepat berada di pertemuan antara Sungai Kapuas dan
Sungai Landak. Dahulu, Beting dikenal sebagai pusat dakwah Islam di
Pontianak. Banyak ulama dan habib berasal dari kampung di tepian Kapuas ini.
Salah seorang ulama kharismatik Pontianak, Habib Soleh Al Haddad.
Lokasi Kampung Beting juga tidak jauh
dari Istana Kadriah Pontianak yang saat ini dipimpin Sultan Pontianak ke-9,
Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie. Dahulu, beberapa tokoh ulama asal Beting
bahkan diangkat menjadi penasehat Istana.
Menjadi Pusat Peredaran
Narkoba
Narkoba
mulai masuk ke Beting pada 1987, dibawa perantau dari luar Kalbar. Saat
itu, Beting mulai dimasuki pendatang, dengan segala kegiatan tak terpuji
seperti maling, preman, dan pelaku kriminal lainnya. Kampung Beting menjadi
tempat pelarian dari kejaran aparat polisi.
Di
sisi lain, masuknya orang luar juga menjanjikan berlimpahnya uang dari bisnis
narkotika dan perjudian (equator.co.id). Sejak itu, Beting terkenal sebagai sarang narkoba di
Kalbar, bahkan disamakan dengan Kampung Ambon di Jakarta. Imbasnya, sebagian
penduduk di sana mendapat stigma negatif.
Mulai dari
dicap sebagai pemadat hingga sulit membeli motor secara kredit karena KTP
mereka beralamatkan Beting.
Kampung Beting dalam
Lintasan Sejarah tentu tak bisa lepas dari kondisi Kampung Beting yang
memprihatinkan dan telah menggerakkan hati para relawan di Pontianak dari
berbagai komunitas. Sebut saja Beting Street Art yang melukis mural di dinding
rumah penduduk setempat.
Selain itu juga komunitas Beting Cinta Qur’an, hingga Forum
Pemerhati Wisata Air yang rutin berkegiatan di sana. Mereka semua mempunyai
tujuan yang sama, mengikis stigma negatif Kampung Beting. Mereka bahu-membahu
berusaha mewujudkan Beting sebagai kampung wisata air Pontianak.
Jalan panjang Beting menuju Kampung Wisata masih
diadang berbagai masalah, mulai dari rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
kebersihan, hingga sulitnya menghilangkan mata pencaharian utama penduduk
setempat yang menggantungkan hidup pada narkotika dan judi ding-dong.
Gotong-Royong Membangun
Beting Itulah yang dilakukan para arsitek yang tergabung
dalam komunitas Cawan, Arkom (Arsitek Komunitas) Pontianak, Arkom Yogyakarta,
serta CAN (Community Architect Network) ASIA dan para mahasiswa jurusan
arsitektur di Pontianak
Mereka terdiri dari mahasiswa Arsitektur Universitas
Tanjungpura (Untan) dan Politeknik Negeri Pontianak (Polnep). Dikomandoi oleh Anggun
Rachmawati (Koordinator Arkom Pontianak) dan Rissa Syafutri (anggota Arkom
Pontianak).
Kenapa memilih Beting? Pertanyaan itu saya lontarkan kepada
Rissa Syafutri.
“Pada mulanya, Arkom
mengobservasi tujuh kampung yang terletak di tepian Sungai Kapuas seperti
Tambelan Sampit, Banjar Serasan, Kamboja, Benua Melayu Laut, Jeruju, Bansir,
dan Beting. Di beting, kami terkejut melihat penerimaan warga yang begitu
hangat. “
“Sebagai orang yang baru
pertama kali ke Beting, kami tidak menyangka, ternyata warga Beting
begitu ramah dan terbuka menerima kami. Kami langsung bertemu Ayah Idris,
seorang penambang sampan yang selalu menemani kami berkeliling kampung,” ujar
alumni Teknik Arsitektur Untan ini.
Selain itu, mereka juga melihat
permasalahan yang begitu kompleks terkait permukiman, sampah, dan lingkungan di
Beting. Perencanaan ini bersifat partisipatif, sehingga Arkom Pontianak perlu
mengikutsertakan warga untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Potensi pariwisata Beting, khususnya wisata susur
parit menggunakan sampan berkeliling melihat suasana di dalam Beting. Namun,
saat ini belum dapat dilakukan karena parit sudah mengalami pendangkalan.
Selain itu, warga lokal dapat menjual produk kerajinan dari sampah yang sudah diolah.
Saat workshop kemarin,
kami bertemu para ibu yang dapat membuat kerajinan dari sampah yang sudah
diolah dan memiliki daya jual.
“Hal terpenting yang kami
perlukan adalah antusias dan semangat warga Beting untuk membuat kampung mereka
menjadi lebih baik.”
Selain
itu, Rissa dan teman-teman percaya bahwa
Beting merupakan area yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan,terutama
di sektor pariwisata, ekonomi, dan sosial budaya. Ada banyak hal yang dapat
dikembangkan menjadi lebih baik dan dapat berkontribusi banyak terhadap Kota
Pontianak.
Dengan
memilih Kampung Beting sebagai lokasi kegiatan, Arkom Pontianak berharap,
proyek ini dapat menjadi proyek percontohan bagi kampung lain di Pontianak,
bahkan di Indonesia.
Sampah merupakan masalah utama di Beting,
apa solusi yang dihasilkan dari pemetaan masalah di sana?
“Solusi
dari semua masalah dengan melakukan co-create. Konsep co-create sebenarnya sama
dengan gotong-royong, yang mana suatu komunitas (kumpulan orang) bekerjasama dengan komunitas lainnya.”
“Dalam
hal ini, kami berusaha menjembatani komunitas di Beting dengan pihak aktivis,
organisasi, serta pemerintah Kota Pontianak untuk memecahkan masalah bersama.
Kami mengumpulkan warga Beting untuk membuat kelompok penanggungjawab di
masing-masing jalur parit di Beting.”
“Setelah
itu, mereka membuat/ merancang sistem penanggulangan sampah. Rencana
selanjutnya yakni membuat sistem yang telah dirancang untuk ditindaklanjuti ke
dinas terkait,” jelas Anggun.
Di
hari terakhir workshop, warga Beting menyampaikan secara langsung di hadapan
Walikota Pontianak, Ir. H. Edi Rusdi Kamtono, MM, MT, apa yang menjadi
harapan dan apa yang mungkin
dikolaborasikan dengan Pemerintah Kota (Pemkot).
Warga
berharap, apa yang mereka sampaikan dapat ditindaklanjuti Pemkot, terutama
terkait permasalahan sampah. Mereka juga berharap semoga ke depan, berbagai program, proyek, serta kebijakan
Pemkot yang akan dilaksanakan di Beting kelak, harus berdasarkan kebutuhan
warga Beting.
Siapa saja peserta? Dari luar
negeri
Peserta
workshop terdiri dari CAN (Community Architectur Network) ASIA. Dari Thailand 4
orang, Bangladesh 2, Filipina 3 dan Indonesia (luar Kalbar) 15 orang. Mereka
berasal dari Makassar 2, Jakarta 3,
Bandung 1, Solo 2, Surabaya 1 dan Yogyakarta 6. Dari pontianak 23 orang dan
warga beting setiap hari sekitar 10 orang.
Workshop
ini bertujuan menjadi wadah untuk melihat suatu potensi dan masalah dan
bagaimana bisa melakukan sesuatu secara bersama. Co-create dalam bahasa
indonesia dimaknai gotong-royong. Dalam proses ini kami mencoba membangun
hubungan antar peserta, warga, dan pemerintah daerah.
Workshop
berlangsung selama 6 hari. Nilai dari workshop ini bagaimana semua elemen dalam
kota sadar bahwa dengan tumbuh bersama,kita bisa melakukan sesuatu yang lebih
baik untuk kampung.
Witee
Wisuthumporn alias Muang, pendiri CAN ASIA menyebut, CAN bekerja di 19 negara
di ASIA yang mempunya area kumuh, kecuali Singapura. Masing-masing kota di
beberapa negara Asia dengan area kumuh tersebut mempunya karakteristik yang
berbeda.
Ia
mencontohkan Thailand, terkenal dengan sistem organisasi yang didukung penuh
oleh koneksi dan pemerintah setempat. Indonesia piawai memanfaatkan bambu
dengan kemampuan desain tingkat tinggi. Sedang Filipina yang mana perwakilan
masyarakat miskin menjalin koneksi dan
bekerjasama dengan pemerintah setempat.
No comments