Mengenal tradisi merolah dalam pernikahan suku Bugis-Makassar (Bagian 2)

 Artikel ini merupakan sambungan dari https://www.alhinduan.com/2021/03/mengenal-tradisi-merolah.html

 

Alhinduan.Com – seusai melakukan ritual pra-nikah, selanjutnya memasuki ritual nikah dan pasca nikah.

ASSIMORONG (Menre’kawing)

Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makassar) atau Menre’kawing (Bugis)

Dulu, calon mempelai pria datang ke rumah calon mempelai wanita hanya ditemani kerabat dan tokoh masyarakat. Kedua orang tua mempelai pria tidak ikut serta.

sumber: popbela.com


Calon mempelai pria akan membawa mahar, uang panai, seserahan berupa perlengkapan pribadi dan juga kue-kue.

Karena sebagian besar orang Bugis Makassar merupakan penganut agama Islam maka pelaksanaan akad nikah dilakukan dengan cara islam.

Saat prosesi ijab kabul, calon mempelai wanita tidak duduk di samping calon mempelai pria. Calon mempelai wanita hanya menunggu di kamar pengantin hingga acara ijab kabul selesai.

MAPPASIKARAWA

Disebut juga Appa’bajikang Bunting. Selesai ijab Kabul, mempelai pria akan dibimbing untuk masuk ke kamar pengantin dan bertemu dengan istrinya secara resmi. Sebelum memasuki kamar, biasanya ada ritual ketuk pintu.

Ketuk pintu ini dimaksudkan untuk meminta ijin ke pihak keluarga mempelai wanita agar diperbolehkan masuk. setelah memasuki kamar, kemudian dilakukan ritual Mappasikarawa.

Mappasikarawa merupakan sentuhan pertama dari suami ke istrinya. Sentuhan ini biasanya dilakukan dengan menyentuh ubun-ubun, pundak, dada atau perut. Biasanya sentuhan tersebut lebih disukai ke pundak yang melambangkan hubungan sejajar antara suami dan istri di dalam rumah tangga. 

Pemakaian sarung yang kemudian dijahit menandakan agar pasangan yang baru menikah terus bersatu dalam pernikahan tersebut. Setelah ritual Mappasikarawa selesai, dilanjut dengan sungkem kepada orang tua dan juga keluarga yang dituakan dari mempelai wanita.

Dalam tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita.

Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh).

Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat).

Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.

Tradisi Pasca Nikah disebut Mapparola atau Merolah.

MAPPAROLA

Mapparola atau Allekka’ Bunting (Marolla) merupakan kunjungan mempelai wanita ke rumah orang tua mempelai pria. Mempelai wanita datang ditemani iring-iringan dari keluarga mempelai wanita.

acara ngunduh mantu atau jamu besan. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria.

Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.

Mempelai wanita juga membawa seserahan berupa perlengkapan pribadi dan kue-kue untuk mempelai pria.

Kunjungan ini sangat penting bagi masyarakat Bugis Makassar karena kunjungan tersebut menandakan kalau mempelai wanita diterima dengan baik di keluarga mempelai pria.

Di Mapparola inilah, mempelai kembali sungkem kepada orang tua dan kerabat yang dituakan dari mempelai pria. Setelah acara Marola atau Mapparola selesai, kedua mempelai akan kembali ke rumah mempelai wanita.

Sumber: kabarmakassar.com; dimasprakoso.com

 

No comments

Powered by Blogger.