Seni Arsitektur Rumah Melayu, Tradisi Pindah Rumah dan Upacara Adat Pernikahan Melayu Pontianak (Bag 1)
Tema pilihan: Ritual, Upacara Adat, Tradisi dan Seni Budaya
artikel ini berhasil mendapat Juara ke-2 Se-Kalimantan Barat dalam lomba Penulisan Bahasa Daerah Berbasis Blog 2020 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Kalimantan Barat
A
Seni Tradisi Rumah Melayu
PENDAHULUAN
Keberadaan Rumah Besa’ atau Rumah Besak
di Gang Hj. Salmah Jalan Adisucipto (Kampung Bangka) peninggalan almarhumah Hj. Salmah merupakan salah satu
bagian penting dari perjalanan sejarah Kota Pontianak. Kampung Bangka sendiri
merupakan salah satu dari kampung-kampung tua di tepian Sungai Kapuas. Selain Rumah Besa’ Hj. Salmah, beberapa
kampung tua di Pontianak masih memiliki Rumah Melayu atau Rumah Panggung yang
terawat baik. Seni arsitektur Melayu disebut Seni Bina. Pada bab ini saya
berkesempatan wawancara
langsung dengan salah seorang sejarawan Kalbar, Bapak Syafaruddin Usman MHD.
Foto rumah dari bagian depan tahun 1970-an. Foto: Dokumentasi
(alm) M Hatta bin H Saleh bin HM Arief.
KARAKTERISTIK RUMAH MELAYU
Pada arsitektur tradisional Melayu terkandung
nilai budaya yang tinggi. Rumah tradisional Melayu berbentuk rumah panggung,
yang berfungsi untuk menjaga keselamatan penghuni dari ancaman binatang buas,
juga untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pemilik rumah. Bentuk bubungan
rumah Melayu tidak lurus, tapi agak mencuat ke kanan dan ke kiri. Model Gajah Minum (disebut juga model Gajah Menyusu)
pada bubungan atap dapur diasosiasikan sebagai belalai gajah yang mencuat ke
atas.
Menurut tradisi Melayu lama, bangunan
sebaiknya didirikan melalui tata cara pembuatan yang sesuai dengan ketentuan
adat. Dengan memakai tata cara yang tertib, barulah bangunan itu dapat disebut
“Rumah Sebenar Rumah”.
Rumah Besak Hj. Salmah (sumber: koleksi pribadi Bapak Syafaruddin Usman MHD |
Ditinjau dari tipologi dan fungsi ruang, rumah
tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis, yaitu Rumah Tiang
Enam, Rumah Tiang Enam Berserambi, dan Rumah Tiang Dua Belas, atau disebut juga
Rumah Serambi. Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah berkolong, dan
memiliki tiang-tiang tinggi. Hal ini sesuai dengan iklim setempat serta
kebiasaan yang sudah turun temurun. Tinggi tiang penyangga rumah sekitar dua
sampai dua setengah meter. Tinggi rumah induk bagian atas sekitar tiga atau
tiga setengah meter. Suasana di dalam ruangan sejuk dan segar karena banyak
memiliki jendela serta lubang angin (ventilasi).
Setiap ruangan pada rumah Melayu memiliki nama
dan fungsi tertentu. Selang depan berfungsi sebagai tempat meletakkan
barang-barang tamu, yang tidak dibawa ke dalam ruangan. Ruang serambi depan
berfungsi sebagai tempat menerima tamu pria, tetangga dekat, orang-orang
terhormat, dan yang dituakan. Ruangan serambi tengah atau ruang induk berfungsi
sebagai tempat menerima tamu agung, dan yang sangat dihormati.
Ruang selang samping berfungsi sebagai tempat
meletakkan barang yang tidak dibawa ke dalam ruang serambi belakang. Tempat
ini merupakan jalan masuk bagi tamu
perempuan. Ruang dapur dipergunakan untuk memasak dan menyimpan barang-barang
keperluan dapur. Karena susunan papan lantainya jarang, maka sampah dapat
langsung dibuang ke tanah. Ruangan kolong rumah biasanya digunakan sebagai
tempat bekerja sehari-hari dan menyimpan alat-alat rumah. Sedangkan toilet dan
kandang ternak (kambing atau ayam) letaknya agak di belakang rumah. Rumah
kediaman lazim disebut rumah tempat diam.
Nama Rumah Belah Rabung diberikan oleh orang
Melayu. Karena bentuk atapnya terbelah oleh bubungannya. Penyebutan ini untuk
membedakan dengan bentuk atap yang tidak memakai perabung seperti bangunan
pondok ladang atau gubuk yang disebut Pondok Pisang Sesikat.
Sebutan lain yang diberikan untuk rumah berdasarkan
pada bentuk kecuraman dan variasi atap. Rumah dengan atap curam disebut rumah
Lipat Pandan. Jika atapnya agak mendatar disebut rumah Lipat Kajang, dan ada
juga yang disebut rumah Atap Layar atau Rumah Ampar Labu. Penamaan lain adalah
berdasarkan pada posisi rumah terhadap jalan raya. kita mengenal Rumah Perabung
dan Rumah Perabung Melintang.
BAGIAN-BAGIAN RUMAH MELAYU
ATAP DAN BUBUNGAN
Bahan utama atap adalah daun nipah dan daun
rumbia. Tetapi pada perkembangannya sering dipergunakan atap seng. Atap dari
daun nipah atau rumbia dibuat dengan cara menjalinnya pada sebatang kayu yang
disebut bengkawan. Biasanya dibuat dari nibung atau bambu. Pada bengkawan
tersebut atap diletakkan, dijalin dengan rotan, kulit bambu atau kulit pelepah
rumbia. Jika atap dibuat dari satu lapis daun saja maka disebut Kelarai.
Sedangkan jika terdiri atas dua lapis disebut Mata Ketam. Atap Mata Ketam lebih
rapat, lebih tebal dan lebih tahan dari atap Kelarai.
Isi perut rotan atau bambu dipakai sebagai
penjalin atau disebut liet. Untuk membuat liet bambu atau rotan dilayuh dengan
api. Kemudian direndam ke dalam air. Sesudah beberapa waktu dibelah dan diambil
isinya, dibuat seperti helai-helai rotan yang lazim dipakai sebagai anyaman.
Untuk menyangit atap dipergunakan tali rotan. Sedangkan untuk memasang perabung
dipergunakan pasak yang terbuat dari nibung.
Rumah Melayu asli memiliki bubungan panjang
sederhana dan tinggi. Ada kalanya terdapat bubungan panjang kembar. Pada
pertemuan atap dibuat talang yang berguna untuk menampung air hujan. Pada kedua
ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke atas. Dan pada bagian
bawah bubungan atapnya melengkung, menambah seni kecantikan arsitektur rumah
Melayu.
Pada bagian belakang dapur bubungan atap dibuat
lebih tinggi, berjungkit. Sedangkan bagian bawah papan penutup rabung ini
dibuat semacam lisplang berukir, memanjang menurun sampai ke bagian yang sejajar
dengan tutup tiang. Dalam bahasa Melayu, papan lisplang berukir ini disebut
Pamelas. Bentuk pamelas ini melengkung mengikuti bentuk rangka atapnya. Ukiran pada papan pamelas ini ada yang
selapis dan ada pula yang dua lapis. Hal ini tampak pada lisplang tutup angin
yang memiliki ragam hias Ricih Wajit.
PERABUNG DAN TEBAN LAYAR
Perabung memiliki bentuk lurus. Sebagai lambang
lurusnya hati orang Melayu. Hiasan yang terdapat pada perabung rumah adalah
hiasan yang terletak di sepanjang perabung, disebut Kuda Berlari. Hiasan ini amat jarang
dipergunakan. Lazimnya hanya dipergunakan pada perabung istana, Balai Kerajaan
dan balai penguasa tertinggi wilayah tertentu.
Adapun Teban Layar biasa pula disebut Singap,
atau Bidai. Bagian ini biasanya dibuat bertingkat dan diberi hiasan yang
sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Pada bagian yang menjorok keluar diberi
lantai yang disebut Teban Layar atau Lantai Alang Buang (Undan-Undan). Bidai lazimnya dibuat dalam
tiga bentuk, yakni bidai satu (bidai rata), bidai dua (bidai dua tingkat)
dan bidai tiga (bidai tiga tingkat). Setiap nama itu mempunyai lambang
tertentu.
TIANG
Bangunan tradisional Melayu adalah bangunan
bertiang. Tiang dapat berbentuk bulat atau bersegi. Sanding Tiang yang bersegi,
diketam dengan ketam khusus yang disebut Kumai. Sanding Tiang adalah sudut
segi-segi tiang. Di antara tiang-tiang itu terdapat tiang utama, yang disebut
Tiang Tua dan Tiang Seri. Tiang Seri adalah tiang-tiang yang terdapat pada
keempat sudut rumah induk, merupakan tiang pokok rumah tersebut.
Tiang ini tidak boleh bersambung, harus utuh
dari tanah sampai ke tutup tiang. Sedangkan tiang yang terletak di antara tiang
seri pada bagian depan rumah, disebut Tiang Penghulu. Jumlah tiang rumah induk
paling banyak 24 buah. Sedangkan tiang untuk bagian bangunan lainnya tidaklah
ditentukan jumlahnya. Pada rumah bertiang 24, tiang-tiang itu didirikan dalam enam
baris. Masing-masing baris empat buah tiang, termasuk tiang seri.
Jika keadaan tanah tempat rumah itu didirikan
lembek atau rumah itu terletak di pinggir, maka tiang-tiang itu ditambah dengan
tiang yang berukuran lebih kecil. Tiang tambahan itu disebut Tiang Tongkat.
Tiang Tongkat biasanya hanya sampai ke rasuk atau gelegar. Untuk menjaga supaya
rumah tidak miring, dipasang tiang pembantu sebagai penopang ke dinding atau ke
tiang lainnya. Tiang ini disebut Sulai.
Bahan untuk Tiang Seri biasanya dari kayu kulim,
naling, resak, atau Tembesu. Untuk Tiang Tongkat atau Sulai cukup mempergunakan
kayu biasa. Tiang-tiang lainnya mempergunakan kayu keras dan tahan lama. Bila
di daerah itu kayu sukar dicari, maka nibung (kayu dari pohon kelapa)
dipergunakan sebagai Tiang Tongkat atau Sulai. Tetapi, nibung tidak dapat
dipergunakan untuk Tiang Seri atau tiang-tiang lainnya.
PINTU
Pintu disebut juga Lawang. Pintu masuk di
bagian muka rumah disebut pintu muka. Sedangkan pintu di bagian belakang
disebut pintu dapur atau pintu belakang. Pintu yang ada di ruangan tengah pada
rumah yang berbilik, pintu yang menghubungkan bilik dengan bilik disebut pintu
malim atau pintu curi. Pintu ini khusus untuk keluarga perempuan terdekat atau
untuk anak gadis, dan dibuat terutama untuk menjaga supaya jika penghuni rumah
memiliki keperluan dari satu bilik ke bilik lainnya tidak melewati ruangan
tengah. Apalagi bila di ruangan tersebut sedang ada tamu.
Sudah menjadi adat, bahwa ruangan tengah
dipergunakan untuk menerima tamu yang terdiri dari orang tua-tua, atau kerabat
terdekat yang dihormati. Amatlah tabu kalau anak-anak, terutama anak gadis,
atau pemilik rumah lalu lalang di depan tamu untuk mengambil sesuatu dari
biliknya.
Untuk menghindari hal yang dilarang tersebut,
maka dibuat pintu khusus yang disebut pintu malim atau pintu curi. Di samping
itu ada pula pintu yang dibuat khusus disebut Pintu Bulak, yaitu pintu yang
tidak memiliki tangga keluar. Pada prinsipnya pintu ini sama seperti jendela,
hanya ukurannya yang berbeda. Biasanya bagian bawah pintu ini diberi pagar
pengaman berupa kisi-kisi bubut atau papan tebuk. Di situ diletakkan kursi
malas, yakni kursi goyang, tempat orang tua duduk berangin-angin. Dari tempat
orang tua-tua itu memperhatikan anak-anak bermain di halaman. Di situ pulalah
orang tua-tua duduk sambil membaca kitab dan minum kahwa (kopi).
Pintu berbentuk persegi empat panjang. Ukuran
pintu umumnya lebar antara 60 sampai 100 sentimeter, tinggi 1,50 sampai dua meter.
Pada mulanya pintu tidak memakai engsel. Untuk membuka dan menutup pintu dipergunakan
semacam putting yang ditanamkan ke
bendul atau balok sebelah bawah dan balok sebelah atas pintu. Kunci pintu dibuat
dari kayu yang disebut Pengkelang. Pintu masuk ke rumah harus mengarah ke jalan
umum.
Pintu dapat terdiri atas satu atau dua daun pintu.
Pintu dikunci memakai belah pintu atau Pengkelang (palang pintu dari sebelah
dalam). Belah pintu adalah sebatang Broti yang dipalangkan pada kedua Jenang
atau kusen pintu.
JENDELA
Jendela lazim disebut Tingkap atau Pelinguk.
Bentuknya sama seperti bentuk pintu. Tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih
rendah. Daun jendela dapat terdiri atas dua atau satu lembar daun jendela.
Hiasan pada jendela dan pagar selasar disebut juga Kisi-kisi atau Jerajak.
Kalau bentuknya bulat disebut Pinang-pinang atau Larik. Bila pipih disebut
Papan Tebuk. Hiasan ini melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang yang
tahu adat dan tahu diri.
Ketinggian letak jendela di dalam sebuah rumah
tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh
perbedaan ketinggian lantai. Ada pula yang berkaitan dengan adat istiadat.
Umumnya jendela tengah di rumah induk lebih tinggi dari jendela lainnya.
Tingkap pada singap disebut tingkap bertongkat. Tingkap ini merupakan jendela
anak dara yang lazimnya berada di ruangan atas (para’).
Tingkap yang terletak pada bubungan dapur
disebut Angkap. Jendela dibuka keluar, ada yang berdaun satu dan kebanyakan
berdaun dua. Jendela dibuat dari papan dan digantung dengan engsel pada kosen.
Pada kosen ini dipasang kisi-kisi atau Telai yang tingginya 80-90 sentimeter,
dan biasanya diberi ukiran.
penulis bersama Bapak Syafaruddin Usman MHD |
Jendela mengandung makna tertentu pula. Jendela
yang sengaja dibuat setinggi orang dewasa berdiri dari lantai, melambangkan
bahwa pemilik bangunan adalah orang baik-baik dan patut-patut dan tahu adat
tradisinya. Sedangkan letak yang rendah melambangkan pemilik bangunan adalah
orang yang ramah tamah, selalu menerima tamu dengan ikhlas dan terbuka.
Sama seperti pintu, jendela pun pada awalnya
tidak memakai engsel. Tetapi mempergunakan putting.
Kuncinya juga dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang. Sebagai pengaman, di
jendela dipasang Kisi-kisi atau Jerajak panjang yang terbuat dari kayu segi
empat atau Bubutan (Larik). Kalau jendela itu tidak memakai jerajak, biasa pula
diberi panel di bawahnya, yang tingginya antara 30 sampai 40 sentimeter.
TANGGA
Tangga penghubung setiap ruangan terdiri atas
satu atau tiga buah anak tangga. Di sebelah kiri dan kanan tangga ada kalanya
diberi tangan tangga yang dipasang sejajar dengan tiang tangga. Dan selalu
diberi hiasan berupa Kisi-kisi Larik (Bubut) atau Papan Tebuk (Papan Tembus).
Anak tangga adakalanya diikat dengan tali kepada tiang tangga. Tetapi kalau pipih dipahatkan
(Purus) ke dalam tiang tangga. Tali pengikat umumnya terbuat dari rotan.
Jumlah anak tangga tidak ditentukan. Tetapi
bergantung kepada tinggi atau rendahnya rumah tersebut. Semakin tinggi rumah
itu, akan semakin banyak pula anak tangganya. Sedangkan jarak antara anak
tangga-anak tangga itu tidak pula ditentukan, hanya menurut kebiasan yakni
sekitar satu hasta. Lazimnya tangga yang
mengandung lambing tertentu hanya tangga muka bangunan. Tangga inilah yang
disebut leher berpangkak pada bendul, kepala bersandar ke jenang pintu, anak
bersusun tingkat bertingkat, tempat pusaka melangkah turun, tempat
mengisik-ngisik debu dan tempat membasuh-basuh kaki.
Dalam bangunan tradisional Melayu, terdapat dua
jenis tangga, yakni tangga bulat dan tangga picak. tangga bulat yakni tangga
dari kayu bulat. Anak tangganya diikat dengan rotan ke induk tangga. Tangga picak
adalah tangga pipih yang terbuat dari papan tebal. Jika anak tangga menembus
tiang tangga, maka disebut Pahatan Tebuk atau Tangga Bercekam. Kepala tiang
tangga selalu diberi ukiran yang disebut Kumaian, demikian pula pada sisi tiang
tangga.
LANTAI
Lantai rumah induk umumnya diketam rapi dengan
ukuran lebar antara 20 sampai 30 sentimeter. Untuk merawat lantai, dipergunakan minyak kayu
yang disebut Minyak Kuing. Lantai biasanya dibuat dari papan kayu meranti,
medang atau punak atau anak-anak kayu yang disebut Anak Laras. Lantai yang
terbuat dari belahan nibung biasanya ditempatkan di ruang belakang, atau di
tempat yang selalu kena air, seperti dapur. Lantai nibung ini tidak dipaku,
tetapi dijalin dengan rotan dan lebarnya antara lima sampai 10 sentimeter. Susunan lantai sejajar dengan rasuk dan
melintang di atas gelagar, di mana ujungnya dibatasi oleh bendul.
Cara merapatkan papan atau bilah lantai dalam
sebuah rumah tidak selalu sama. Lantai di rumah induk selalu disusun rapat.
Bahkan diberi lidah yang disebut Pian. Sedangkan di dapur, di beberapa tempat
disusun agak jarang. Selain dirapatkan dengan cara Pian, bilah lantai dapat
dirapatkan dengan cara Bersanding. Setiap bentuk itu mempunyai makna tertentu.
Tinggi lantai rumah Melayu tidak sama. Lantai
rumah induk lebih tinggi dibandingkan dengan lantai beranda depan dan beranda
belakang. Lantai beranda lebih tinggi dari lantai selasar. Lantai selasar lebih
tinggi dari lantai dapur. Ada kalanya sama dengan lantai Penanggah. Tinggi
lantai rumah induk biasanya lima sampai enam kaki dari permukaan tanah. Lantai
serambi depan lebih rendah satu kaki dari lantai ruang duduk. Demikian pula
beranda belakang. Lantai dapur lebih rendah lagi dari lantai beranda belakang
dan yang paling rendah adalah lantai Selang atau Pelataran. Lantai selang
dibuat jarang berjarak sekitar dua jari dengan lebar papan empat inci.
DINDING
Papan dinding dipasang vertical. Kalau pun ada
yang dipasang miring atau bersilangan, pemasangan tersebut hanya untuk variasi.
Cara memasang dinding umumnya dirapatkan dengan Lidah Pian. Atau dengan susunan
bertindih yang disebut Tindih Kasih. Cara lain adalah dengan pasangan
horizontal dan saling menindih yang disebut Susun Sirih. Namun cara ini jarang
dipakai. Untuk variasi sering pula dipasang miring searah atau miring
berlawanan, dengan kemirinan rata-rata 45 derajat.
Pada umumnya dinding terbuat dari kayu meranti,
punak, medang atau kulim. Tetapi untuk dinding dapur, ada kalanya dipergunakan
kulit kayu meranti, pelepah rumbia atau bamboo. Papan dinding umumnya berukuran
tebal dua hingga lima sentimeter, dengan
lebar 15—20 sentimeter. Panjangnya bergantung kepada tinggi jenang. Makna
dinding selalu dikaitkan dengan sopan santun, yakni sebagai batas kesopanan.
Dinding rumah dibuat dari papan yang dipasang
vertical dan dijepit dengan kayu penutup (dinding kembung). Kira-kira 20 sentimeter
di bawah tutup tiang biasanya dibuat lubang angin. Pada lubang angin ini diberi
hiasan dengan tebukan. Makin tinggi nilai tebukan ini, makin tinggilah martabat
serta makin terpandang se empunya rumah
LOTENG
Dalam bahasa Melayu, Loteng disebut Langa.
Loteng yang terletak di atas bagian belakang rumah, disebut Para’. Namun, tidak
banyak rumah yang memiliki loteng. Pada rumah berloteng, lantai loteng dibuat
dari papan yang disusun rapat.
Sama seperti rumah induk, hanya ukuran lantai
loteng lebih kecil dan lebih tipis. Pada rumah yang tidak berloteng, dalam
upacara tertentu atas (loteng) ditutup dengan kain penutup yang disebut
KainLangit-langit. Kain ini dibuat dari
perca-perca kain aneka warna, dan dijahit menjadi sebuah bidang besar menurut
pola tertentu. Loteng di bagian belakang (para’) dibuat dalam bentuk yang
sangat sederhana, dengan lantai papan yang disusun jarang.
Banyak pula loteng yang dibuat tidak menutup
seluruh bagian atas ruangan. Tetapi hanya sebagian saja, berbentuk siku-siku
atau berbentuk huruf L. Loteng tidak
seluruhnya berdinding. Pada bagian yang tidak berdinding dipasang hiasan
kisi-kisi yang terbuat dari kayu bubutan atau Papan Tebuk.
Kamar anak gadis terletak di para’-para’ (loteng),
dengan jalan masuk dan keluarnya dari ruang tengah. Hal ini untuk menjaga
keselamatan dan kehormatan, serta harga diri keluarga. Untuk menjumpai sang
gadis tidak mudah. Dan kedua orang tua
selalu mengawasi tindak tanduk anak gadisnya. Kehormatan keluarga dilihat dari
tingkah laku keluarga tersebut, baik dalam mendidik anaknya maupun perilaku
anak itu sendiri di tengah masyarakat. (bersambung
ke
No comments